BERANDA PROFIL

BUDAYA KRITIS BUKAN UNTUK MENDAPATKAN NILAI


Saat ini pendidikan di Indonesia sedang berupaya untuk menumbuhkan sikap kritis siswa dan juga mahasiswa. Setiap guru dan dosen selalu mengajak peserta didiknya untuk kritis. Yang akan saya bahas di sini mengenai budaya kritis di kalangan mahasiswa. Hampir setiap dosen mengharapkan mahasiswanya kritis. Dalam perkuliahan sikap kritis dapat ditunjukan melalui seringnya mahasiswa mengungkapkan pendapat, menanggapi apa yang dikatakan dosen, atau melalui bertanya kepada dosen. Walaupun di setiap perkuliahan dosen selalu memberi kesempatan kepada mahasiswa untuk memberikan umpan balik terhadap apa yang telah disampaikan oleh dosen, sangat jarang sekali mahasiswa yang mau mengungkapkan pendapatnya. Bahkan untuk sekedar bertanya saja mahasiswa merasa bingung. Dan akhirnya suasana perkuliahan menjadi sangat pasif karena tidak ada umpan balik dari mahasiswa.  Jikapun ada yang menanggapi paling hanya satu atau dua mahasiswa saja dan orangnya selalu sama.
Hal itu terjadi karena beberapa hal, yang pertama yaitu kurangnya rasa percaya diri mahasiswa untuk berbicara di depan teman-temannya dan juga dosen tentunya. Faktor yang kedua yaitu mahasiswa tidak terbiasa, dan tidak pernah mau mencoba untuk berbicara. Pekerjaan atau kegiatan yang paling sulit untuk dilakukan yaitu memulai, begitu juga saat mahasiswa diberikan kesempatan untuk berbicara, sebagian besar dari mereka takut dan tidak mau mencoba. Dan akhirnya mahasiswa yang berbicarapun selalu sama di setiap perkuliahan yaitu mahasiswa yang mau untuk memulai dan memberanikan dirinya untuk berbicara.  Yang ketiga yaitu sebagian besar mahasiswa merasa bingung hendak mengungkapkan pendapat apa, karena mereka juga tidak memiliki wawasan yang luas sehingga sulit untuk menghubungkan materi dengan apa yang dialaminya. Hal tersebut terbukti dari mahasiswa yang sering berbicara, mahasiswa itu pasti bacaannya banyak dan memiliki wawasan yang lebih luas daripada mahasiswa yang bisanya hanya diam saja. Jadi untuk menumbuhkan sikap kritis harus dimulai dari budaya membaca dan kita harus peka terhadap lingkungan kita. Kita harus bisa memahami apa yang terjadi di sekitar kita apa sebab dan akibatnya. Karena untuk menanggapi atau bertanya juga diperlukan wawasan agar pertanyaan atau pendapat kita bermutu dalam arti memiliki keterkaitan yang erat dengan apa yang sedang dibicarakan. Pertanyaan-pertanyaan yang kurang bermutu biasanya akan ditanggapi dengan jawaban yang kurang enak untuk didengar, misalnya saja dosen akan berkata “kalau bertanya itu yang sedikit bermutu”. Tentu saja pernyataan tersebut akan mematahkan semangat dan perasaan mahasiswa yang bertanya.
Seharusnya pernyataan tersebut tidak dikeluarkan, karena bagaimanapun mahasiswa tersebut telah berusaha dan setidaknya ia lebih berani jika dibandingkan mahasiswa lain yang hanya diam untuk mencari aman. Jika mahasiswa sudah diberikan pernyataan seperti di atas, maka kemungkinan mahasiswa untuuk bertanya lagi sangat kecil. Mereka akan berpikir seribu kali sebelum bertanya, karena takut pertanyaannya dianggap tidak bermutu. Oleh karenanya jika dosen menginginkan mahasiswanya kritis maka dosen harus bisa menghargai usaha dari mahasiswa. Karena sikap kritis tidak bisa dipaksakan begitu saja, mahasiswa perlu berlatih terlebih dahulu. Bagi mahasiswa yang sudah terbiasa kritis maka apa saja yang dibicarakan oleh dosen ia dengan mudah menanggapinya dan dihubungkan dengan daftar bacaan atau dengan realita di kehidupan nyata. Tetapi hal itu sangat sulit untuk dilakukan oleh semua mahasiwa. Mahasiswa merupakan individu yang karakternya juga berbeda, jadi ada mahasiswa yang senang berbicara dan ada yang tidak, ada yang suka membaca dan ada yang tidak, ada yang pemalu dan ada yang tidak.
Sikap kritis pada saat pembelajaran dengan dosen akan berbeda dengan sikap kritis pada saat berdiskusi setelah ada yang presentasi. Setiap perkuliahan hampir semuanya terdapat kegiatan presentasi dan diskusi. Moderator biasanya akan membuka dua termin untuk bertanya, satu termin dua penanya. Tetapi jiaka saya amati selama saya mengikuti perkulaiahan, mereka yang bertanya hanya karena mengingikan nilai plus dari dosen. Karena mahsiswa yang aktif dalam perkuliahan (bertanya) akan selalu mendapatkan nilai plus dari dosen. Oleh karenanya sering mahasiswa berebut untuk bertanya, tak peduli apa jawaban dari penjaji yang penting ia sudah bertanya dan akan mendapatkan nilai. Hal itu mungkin baik, karena dapat melatih siswa untuk berbicara di depan teman-teman dan dosen. Tetapi hal itu juga kurang baik, karena sebagian besar mahasiswa yang bertanya tidak akan puas dan bahkan tidak percaya dengan jawaban yang diberikan oleh penyaji. Padahal seharusnya ia menghargai pendapat penyaji dan bukan sebaliknya memperlihatkan tampang yang tidak percaya kepada penyaji. Jika memang ia tidak percaya kepada penyaji mengapa ia bertanya???, tidak ada jawaban lagi selain ia hanya menginginkan nilai, dan ia pun tak mau begitu saja menerima jawaban dari penyaji karena jika ia begitu saja menerimanya itu akan membuat penyaji dinilai pintar oleh teman-teman dan juga dosen.

Sepertinya pendidikan saat ini memang tak bisa lepas dari orientasi ke nilai, apapun yang dilakukan mahasiswa atau siswa semata-mata hanya untuk mendapatkan nilai. Akibatnya mereka akan kehilangan arti dari belajar yang sesungguhnya. Karena hanya berorientasi untuk mendapatkan nilai, maka yang terjadi yaitu punya ilmu tetapi tidak dapat digunakan untuk apa-apa. Bahkan untuk merubah nasib dirinya sendiri pun tidak bisa. Mereka tidak dapat melakukan perubahan yang lebih baik, padahal tujuan belajar yang sebenarnya yaitu adanya perubahan yang lebih baik. Demikian juga tujuan dari sikap kritis, adanya sikap kritis bertujuan untuk membentuk manusia yang dapat melakukan perubahan yang lebih baik. Tetapi apakah mungkin tujuan dari sikap krits itu tercapai jika orientasi mahasiswa bersikap kritis hanya utnuk mendapatkan nilai saja????? 

0 komentar:

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.

Copyright © / My Story

Template by : Urang-kurai / powered by :blogger